PERIODE
1953-1961
Krisis
Sastra Indonesia
Pada periode
1953-1961 dunia sastra Indonesia mengalami masa berkabung karena pada saat itu
salah seorang sastrawan yang terkemuka meninggal dunia yakni Chairil Anwar. Wafatnya
Chairil Anwar membawa dampak besar pada para sastrawan-sastrawan
Indonesia. Banyak para sastrawan yang menjadi kurang semangat dalam menciptakan
sebuah karya atau kurang produktif karena terbawa nuansa berkabung seperti
Asrul Sani, Rival Apin dan lain-lain. Selain itu goloongan 45 kehilangan masa
jayanya, sehingga mereka merasa pesimis, serta merasa timbul krisis dan sesudah
penyerahan kedaulatan RI tahun 1949 dirasakan timbulnya krisis di berbagai
lapangan dalam masyaratak Iandnesia, akibat krisis kepemimpinan politik. Bukan hanya itu, pada tubuh pemerintahan
mulai muncul kejenuhan sehingga bibit-bibit korupsi dan manipulasi mulai
menjamur dan merusak masyarakat. Karena kedua hal tersebut diatas, mencuatlah
anggapan krisis sastra.
Sebelum istilah
krisis sastra dipermasalahkan, pada bulan april 1952 diselenggarkan sebuah
symposium di Jakarta yang melontarkan bahwa Indonesia mengalami “ krisis
ahlak”, “krisis ekonomi” dan “berbagai krisis lainnya. Symposium itu sendiri
membahas tentang “kesulitan-kesulitan zaman peralihan sekarang”. Symposium itu
diselenggarakan oleh golongan golongan gelanggang, lekra, liga komponis, pen
club dan pujangga baru yang meninjau dari berbagai sudut pandang.
Barulah pada tahun 1953, di Amsterdam diadakan
symposium tentang kesusastraan Indonesia membicarakan mengenai “impase”
(kemerosotan) dan “krisis sastra Indonesia”. Dalam symposium tersebut yang
berbicara Asul Sani, St. Takdir Ali Syahbana, Prof. Dr. Weirthein dll. Krisis
sastra Indonesia merupakan sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia, hal
ini mencuat dan menjadi bahan pembicaraan ketika terbit majalah konfrontasi
pada tahun 1954. Pada halaman pertamanya terdapat esai yang ditulis Sudjatmoko
berjudul “mengapa konfrontasi”. Dalam karangan itu dengan tegas mengatakan
bahwa sastra indonesia sedang mengalami krisis. Sudjatmoko melihat hal itu
akibat dari krisis kepemimpinan politik, cerpen-cerpen yang dihasilkan kecil
(berkutat pada dunia psikologis perseorangan) dan tidak ada roman-roman besar
yang ditulis.
Sutan
Takdir Alisyabana dalam majalah Pujangga Baru Januari 1951 mensinyalir adanya
impase (kebuntuan) dalam masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat dan kebudayaan
kita dalam arti yang paling luas terancam dari dua pihak, yaitu karena
statisnya orang tua-tua kita berfikir dan karena statisnya pula orang-orang
muda yang kita berfikir. Orang tua-tua maunya kembali pada zaman lampau,
sedangkan yang muda-muda mau mengambil alih segala teori ekonomi, politik dan
kesenian dari eropa dan amerika.
Dari karangan
Sudjatmoko maka timbullah reaksi-reaksi besar tentang krisis sastra Indonesia
dari para sastrawan seperti.
1. Asrul
Sani
Dalam symposium
di Amsterdam tahun 1953 mengakui adanya impasse, yang hanya bersifat sementara.
Impase itu dilihatnya sebagai akibat dari putusnya hidup pedesaan dan perkotaan
pada nilai-nilai yang benar. Diakui ada kegiatan sastra, misalnya cerpen,
sedang roman tebal tentang revolusi belum masanya ditulis.
2. Boeyoeng
Shaleh
Tidak ada krisis
sastra Indonesia. Sebab ada karya-karya sastra seperti: keluarga gerilya
(Pramudya), jalan tak ada ujung ( Mochtar Lubis), dan roman-roman yang belum
diterbitkan.
3. Nugroho
Notosusanto
Dalam kompas,
tahun IV, Juli 1954 meneropong apa yang disebut kelesuan dan membuktikan, bahwa
kelesuan itu tidak ada. Ia membandingkan produksi kesusasteraan berupa buku dan
majalah antara tahun 45-50 dan antara 50-54 dan kehidupan kumpulan
kesusasteraan dalam dua periode itu.Nugroho
notosusanto mencoba mencari asal-usul lahirnya apa yang disebutnya mite
kelesuan ini dan mengemukakan tiga kemungkinan:
- Mite kelesuan lahir dari pesimisme itu di satu pihak dikandung oleh mereka yang hidupnya pada zaman federal lebih enak. Dan dilain pihak dikandung oleh mereka yang hidupnya sulit pada masa revolusi mempunyai impian-impian yang indah dan muluk tentang seusai perang colonial.
- Kemungkinan yang kedua, bahwa golongan “old crack” dikalangan sastrawan yang pada periode 45 mengalami zaman keemasan pada hal pada periode 50 mulai mundur, ini berarti mengagung-agungkan zaan gemilangnya dan menjelekkan zaman ini, dimana muncul tokoh-tokoh baru.
- Kemungkinan ke 3, bahwa sastrawan 45 sangat berorientasi ke sastra belanda. Sedang sehabis perang dunia II kesusasteraan di negeri belanda mengalami kelesuan, karena meninggalnya pemimpin gerakan pembaharuan, maka sangkatan astrawan Indonesia yang menyejajarkan diri dengan angkatan Marsman cs pun, sekarang juga mau meniru memproklamasikan kelesuan Indonesia.
4. H.B
Jassin
Tidak ada krisis
dan tak ada impase dalam sastra Indonesia. Suara-suara impase tahun 1953
(symposium Amsterdam). Padahal sekitar tahun itu banyak terbit buku-buku,
misalnya karya Pramudya
5. Sitor
Situmorang
Tidak ada
krisis, tak ada impase, yang ada ialah krisis ukuran atau nilai sastra. Ukuran
Sitor Situmorag adalah ukuran seniman dan seni, berdasarkan pula satu pandangan
hidup tertentu.
Pada tahun 1953-1961 justru tahun inilah masa suburnya
penerbitan hasil-hasil Pramudya Ananta Tur. Tahun 50 terbit bukunya yaitu:
Keluarga Gerilya (Pembangunan), Subuh, Kumpulan Tiga Cerita Pendek
(pembangunan), Perburuan (Balai Pustaka), Dia Yang Menyerah (Pustaka Rakyat),
Percikan Revolusi (Gapura). Tahun 1951 terbit pula bukunya yaitu Di tepi Kali
Bekasi (Gapura), Bukan Pasar Malam (Balai Pustaka), Mereka Yang Dilumpuhkan
(Balai Pustaka). Tahun 1952 terbit : Cerita Dari Blora (Balai Pustaka) di
samping karya-karyanya dalam majalah-majalah.
Perlu di ingat juga buku-buku lain yang terbit disamping
Pramudya di atas sekitar tahun 1950 dan sesudahnya, misalnya karya :
1. Mochtar
Lubis
Jalan Tak Ada Ujung (Balai Pustaka, 1953), Si
Djamal dan Tjerita-tjerita Lain (Gapura,1950).
2. M
Balfas
Lingkaran-lingkaran
Retak (Balai Pustaka,1952)
3. Riyono
Pratikto
Api
dan Beberapa Tjerita Pendek Lain (Balai Pustaka, 1951)
4. Sitor
Situmorang
Surat
Kertas Hijau (Pustaka Raya,1953), Jalan Mutiara (Pustaka Rakyat, 1953)
5. A
Rossidhy
Tahun-tahun
Kematian (1951)
Akibat dari krisis yang sudah
di jelaskan di atas maka berdampak pada krisis ekonomi yang kemudian timbul
krisis sastra dan menjadi perdebatan pada periode ini. Sejak tahun 1953, balai
pustaka yang menjadi pusat penerbit utama untuk buku-buku sastra menjadi tak
menentu. Hal itu karena kurangnya anggaran untuk menerbitkan buku-buku, dan para
pemimpin redaksi banyak yang korupsi. Dengan keadaan tersebut, banyak para sastrawan
yang tidak menulis roman-roman besar tetapi mereka hanya menulis cerpen-cerpen
kecil yang waktu pembuatannya lebih singkat dan mereka menerbitkan karya-karyanya pada sastra majalah
(majalah sastra), karena anggaran penerbitannya lebih murah juga dapat dibeli
oleh mayarakat kecil, sehingga semua orang dapat menikmati karya mereka.
What is the difference between Baccarat and the Baccarat
BalasHapusBaccarat has a good margin of win. deccasino You know the difference between the หารายได้เสริม two, and it's quite interesting when you know how you 바카라