Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 27 Mei 2014

Krisis Sastra Indonesia


PERIODE 1953-1961
Krisis Sastra Indonesia


Pada periode 1953-1961 dunia sastra Indonesia mengalami masa berkabung karena pada saat itu salah seorang sastrawan yang terkemuka meninggal dunia yakni Chairil Anwar. Wafatnya Chairil Anwar  membawa dampak besar pada para sastrawan-sastrawan Indonesia. Banyak para sastrawan yang menjadi kurang semangat dalam menciptakan sebuah karya atau kurang produktif karena terbawa nuansa berkabung seperti Asrul Sani, Rival Apin dan lain-lain. Selain itu goloongan 45 kehilangan masa jayanya, sehingga mereka merasa pesimis, serta merasa timbul krisis dan sesudah penyerahan kedaulatan RI tahun 1949 dirasakan timbulnya krisis di berbagai lapangan dalam masyaratak Iandnesia, akibat krisis kepemimpinan politik.  Bukan hanya itu, pada tubuh pemerintahan mulai muncul kejenuhan sehingga bibit-bibit korupsi dan manipulasi mulai menjamur dan merusak masyarakat. Karena kedua hal tersebut diatas, mencuatlah anggapan krisis sastra.
Sebelum istilah krisis sastra dipermasalahkan, pada bulan april 1952 diselenggarkan sebuah symposium di Jakarta yang melontarkan bahwa Indonesia mengalami “ krisis ahlak”, “krisis ekonomi” dan “berbagai krisis lainnya. Symposium itu sendiri membahas tentang “kesulitan-kesulitan zaman peralihan sekarang”. Symposium itu diselenggarakan oleh golongan golongan gelanggang, lekra, liga komponis, pen club dan pujangga baru yang meninjau dari berbagai sudut pandang.
 Barulah pada tahun 1953, di Amsterdam diadakan symposium tentang kesusastraan Indonesia membicarakan mengenai “impase” (kemerosotan) dan “krisis sastra Indonesia”. Dalam symposium tersebut yang berbicara Asul Sani, St. Takdir Ali Syahbana, Prof. Dr. Weirthein dll. Krisis sastra Indonesia merupakan sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia, hal ini mencuat dan menjadi bahan pembicaraan ketika terbit majalah konfrontasi pada tahun 1954. Pada halaman pertamanya terdapat esai yang ditulis Sudjatmoko berjudul “mengapa konfrontasi”. Dalam karangan itu dengan tegas mengatakan bahwa sastra indonesia sedang mengalami krisis. Sudjatmoko melihat hal itu akibat dari krisis kepemimpinan politik, cerpen-cerpen yang dihasilkan kecil (berkutat pada dunia psikologis perseorangan) dan tidak ada roman-roman besar yang ditulis.
Sutan Takdir Alisyabana dalam majalah Pujangga Baru Januari 1951 mensinyalir adanya impase (kebuntuan) dalam masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat dan kebudayaan kita dalam arti yang paling luas terancam dari dua pihak, yaitu karena statisnya orang tua-tua kita berfikir dan karena statisnya pula orang-orang muda yang kita berfikir. Orang tua-tua maunya kembali pada zaman lampau, sedangkan yang muda-muda mau mengambil alih segala teori ekonomi, politik dan kesenian dari eropa dan amerika.
Dari karangan Sudjatmoko maka timbullah reaksi-reaksi besar tentang krisis sastra Indonesia dari para sastrawan seperti.
1.      Asrul Sani
Dalam symposium di Amsterdam tahun 1953 mengakui adanya impasse, yang hanya bersifat sementara. Impase itu dilihatnya sebagai akibat dari putusnya hidup pedesaan dan perkotaan pada nilai-nilai yang benar. Diakui ada kegiatan sastra, misalnya cerpen, sedang roman tebal tentang revolusi belum masanya ditulis.
2.      Boeyoeng Shaleh
Tidak ada krisis sastra Indonesia. Sebab ada karya-karya sastra seperti: keluarga gerilya (Pramudya), jalan tak ada ujung ( Mochtar Lubis), dan roman-roman yang belum diterbitkan.
3.      Nugroho Notosusanto
      Dalam kompas, tahun IV, Juli 1954 meneropong apa yang disebut kelesuan dan membuktikan, bahwa kelesuan itu tidak ada. Ia membandingkan produksi kesusasteraan berupa buku dan majalah antara tahun 45-50 dan antara 50-54 dan kehidupan kumpulan kesusasteraan dalam dua periode itu.Nugroho notosusanto mencoba mencari asal-usul lahirnya apa yang disebutnya mite kelesuan ini dan mengemukakan tiga kemungkinan: 
  1.  Mite kelesuan lahir dari pesimisme itu di satu pihak dikandung oleh mereka yang hidupnya pada zaman federal lebih enak. Dan dilain pihak dikandung oleh mereka yang hidupnya sulit pada masa revolusi mempunyai impian-impian yang indah dan muluk tentang seusai perang colonial.  
  2. Kemungkinan yang kedua, bahwa golongan “old crack” dikalangan sastrawan yang pada periode 45 mengalami zaman keemasan pada hal pada periode 50 mulai mundur, ini berarti mengagung-agungkan zaan gemilangnya dan menjelekkan zaman ini, dimana muncul tokoh-tokoh baru.  
  3. Kemungkinan ke 3, bahwa sastrawan 45 sangat berorientasi ke sastra belanda. Sedang sehabis perang dunia II kesusasteraan di negeri belanda mengalami kelesuan, karena meninggalnya pemimpin gerakan pembaharuan, maka sangkatan astrawan Indonesia yang menyejajarkan diri dengan angkatan Marsman cs pun, sekarang juga mau meniru memproklamasikan kelesuan Indonesia.
4.      H.B Jassin
Tidak ada krisis dan tak ada impase dalam sastra Indonesia. Suara-suara impase tahun 1953 (symposium Amsterdam). Padahal sekitar tahun itu banyak terbit buku-buku, misalnya karya Pramudya
5.      Sitor Situmorang
Tidak ada krisis, tak ada impase, yang ada ialah krisis ukuran atau nilai sastra. Ukuran Sitor Situmorag adalah ukuran seniman dan seni, berdasarkan pula satu pandangan hidup tertentu.
            Pada tahun 1953-1961 justru tahun inilah masa suburnya penerbitan hasil-hasil Pramudya Ananta Tur. Tahun 50 terbit bukunya yaitu: Keluarga Gerilya (Pembangunan), Subuh, Kumpulan Tiga Cerita Pendek (pembangunan), Perburuan (Balai Pustaka), Dia Yang Menyerah (Pustaka Rakyat), Percikan Revolusi (Gapura). Tahun 1951 terbit pula bukunya yaitu Di tepi Kali Bekasi (Gapura), Bukan Pasar Malam (Balai Pustaka), Mereka Yang Dilumpuhkan (Balai Pustaka). Tahun 1952 terbit : Cerita Dari Blora (Balai Pustaka) di samping karya-karyanya dalam majalah-majalah.
            Perlu di ingat juga buku-buku lain yang terbit disamping Pramudya di atas sekitar tahun 1950 dan sesudahnya, misalnya karya :
1.      Mochtar Lubis
 Jalan Tak Ada Ujung (Balai Pustaka, 1953), Si Djamal dan Tjerita-tjerita Lain (Gapura,1950).
2.      M Balfas
Lingkaran-lingkaran Retak (Balai Pustaka,1952)
3.      Riyono Pratikto
Api dan Beberapa Tjerita Pendek Lain (Balai Pustaka, 1951)
4.      Sitor Situmorang
Surat Kertas Hijau (Pustaka Raya,1953), Jalan Mutiara (Pustaka Rakyat, 1953)
5.      A Rossidhy
Tahun-tahun Kematian (1951)
                 Akibat dari krisis yang sudah di jelaskan di atas maka berdampak pada krisis ekonomi yang kemudian timbul krisis sastra dan menjadi perdebatan pada periode ini. Sejak tahun 1953, balai pustaka yang menjadi pusat penerbit utama untuk buku-buku sastra menjadi tak menentu. Hal itu karena kurangnya anggaran untuk menerbitkan buku-buku, dan para pemimpin redaksi banyak yang korupsi. Dengan keadaan tersebut, banyak para sastrawan yang tidak menulis roman-roman besar tetapi mereka hanya menulis cerpen-cerpen kecil yang waktu pembuatannya lebih singkat dan mereka  menerbitkan karya-karyanya pada sastra majalah (majalah sastra), karena anggaran penerbitannya lebih murah juga dapat dibeli oleh mayarakat kecil, sehingga semua orang dapat menikmati karya mereka.

1 komentar:

  1. What is the difference between Baccarat and the Baccarat
    Baccarat has a good margin of win. deccasino You know the difference between the หารายได้เสริม two, and it's quite interesting when you know how you 바카라

    BalasHapus

 

Blogroll

About